Ajip Rosidi-Antalogi Sajak-sajak hijau dalam 3 kumpulan sajak Jeram


       Ajip merupakan adalah sastrawan indonesia, ia juga berprofesi sebagai penulis, budayawan, dosen, dan redaktur beberapa pernebit, dan juga pendiri serta ketua yayasan kebudayaan rancage, ajip merupakan salah satu pengarang sajak dan cerpen yang paling produktif. Karyanya banyak dimuat dimuat dalam majalah. Ia juga aktif dalam menulis darama, cerita rakyat, cerita wayang, bacaan anak-anak, lelucon, dan memoar serta menjadi editor beberapa bunga rampai. Berikut saya tampilkan Antalogi puisi Sajak-sajak hijau pada buku 3 kumpulan sajak yang berjudul Jeram


Sebelum Padi Menguning

Sebelum padi menguning mana burung datang mendekat
atau cinta bisa melekat
Jika tiada banjir mendatang hama menyerang
harapan panen takkan sia-sia
Lantas padi menguning cinta pun datang
tinggal aku yang selalu malam
1953
Pejalan Sepi

ia tembus kesenyapan dinihari
sepatunya berat menunjam bmi
menempuh kota yang leleap terlena
dalam pelukan cahya purnama
ia tembus kedinginan pagi
siulnya nyaring membelah sunyi
membangunkan insan agar bangkit
dalam pertarungan hidup yang sengit
di sebuah jembatan ia berhenti
dihirupnya udara sejuk dalam sekali:
bulan yang mengambang atas air kali
adalah gambaran hatinya sendiri!
1954
Rindu Berguling Sendiri

Rindu berguling sendiri
putus mengharap
dinding putih-putih
dan di baliknya: kesepian pengap
Radio di sebelah batas
suaranya samar ----
kudengar diriku menghela nafas
dengan hati yang cabar
1954
Ia pun kini sunyi

ia pun kini sunyi
tahu dua macam bunga:
yang putih, sendiri, sepi
tak terjangkau dari tepi ini
ia pun bernanyi
lagu sedih ditinggal kasih
tahu segala yang sia-sia
bernama duka
ia pun sunyi
ia pun sendiri
1954
Malam putih

Malam jatuh di senja putih
berangkat ke pangkal pagi
dan keinginan berdekap penuh kasih
sia-sia sekali
1954
Angin berkesiur

Angin berkesiur
daun pun gugur
angin berekelana
cintaku mengembara
gadisku mawar
menanti tak sabar
gadis yang rindu
kudekap dalam pelukan bisu
1954
Nenek

Pancaran mata kasihan diri
sudah tersungkup dalam kerut tua kulitnya
sudah tersinar dari muka lembutnya
di lengkungan dagu di lekukan dahi
terbayang kesia-siaan usia
1954
Lagu kerinduan

Wajahmu antara batang kelapa langsing
menebar senyum dan matamu menjadkian daku burung piaraan
semua hanya bayangan kerinduan: kau yang nun entah di mana
mengikuti setiap langkahku, biarun ke mana
Kujalani kelengangan hari
sepanjang pagar bayangan: wajahmu menanti
langkah kuhentikan dan kulihat
hanya senyummu memenuhi jagat
1954
Mata derita

Ada yang datang bermata derita
pagi bewarna olehnya
Ada perawan bermata derita
bersendang angin remaja
Ada yang memandang ke dalam hatiku
bumyi pun jadi biru
Ada yang memancar: kebeningan hening
dan segalanya pun tak teraba lagi __ ___
1954
Bunda

Nyanyi menayang mimpi ke pangkuannya
damai pun terlena dalam hati
mewujudkan kasih dan cinta
yang takkan terhalang meski oleh mati
1954
Dukaku yang risau

Berjalan, berjalan selagi di diri duka
bernapas lega menemu perempuan
kami berpandangan: lantas tahu
segalanya tinggal masa kenangan
Kami berjalan memutar danau
namun kutahu: dukaku yang risau
takkan mendapatkan pelabuhan aman
kecuali dalam pelukan penghabisan
Kupandang matanya:
tak kukenal siapa pun juga
Semuanya nanar
didinding kabur samar
1954
Kematian
I

Lelaki bernanyi sepenuh hati didorongnya beton ke puncak tinggi
di hari sebelum lebaran
di rumah anak menunggu baju baru
Tapi tali putus beton terguling
lelaki tak lagi bernyanyi
Ada isteri tadi janda
ada anak kehilangan bapak
di hari sebelum lebaran
Pintu tak terbuka
ayah tak kembali
sia-sia menanti
sepanjang hari
II

Muka yang sudah remuk
anaknya menjerit yatim
ayah bisakah mati
Muka yang tiada lagi bentuk
tepekur pengantar kubur
nyawa lepas tak tersangka
1954
Warna

Menyala warna membakar dada
hari-hari penuh bisa
waktu dihabisi mimpi-mimpi
bocah meningkat dewasa
Tiga jalan pertemuan
dalam mengerti
dalam diri
menyerah ke mata nyalang
Warna nyala dalam waktu dalam ruang
selama jarak masih ada
selama ia belum mengerti
1954
Penyair
1

Adapun penyair lahir
membangkitkan kematia para penyihir
lalu dengan mantra kata-kata
menjelmakan kehidupan manusia
Menyanyikan kelahiran cinta
atau mengisi kematian bunda
melagukan kesia-siaan rindu, kau pun tahu
segala yang beralamat duka
2

Siapa yang menjelajahi pagi
mendapat pertama sinar mentari
Lagu kunyanyikan kini
akan dimengerti nanti
Lagu kusajakkan kini
suara lubuk hati
Yang selalu sunyi
1954
Jalan lempeng
Sebuah lukisan S. Soedjojono

Burung gagak, burung gagak! Biarkan dia berjalan!
Biarkan dia berjalan, membungkuk pada keyakinannya
Bertolak dari bumi kehidupan lampau, begitu ia melangkah
Pasti dan yakin. Karena ada mimpi di balik gunung itu:
Lembah hijau hidup segar/ Karena di sini batu mencair
Gurun mati. Tandus dan sepi
Burung gagak, biarkan di berjalan. Di ruas-ruas langkahnya
menyala dendam pada bumi lampau. DI dadanya padat kesumat
Pada dunia kehidupan yang mati disini
Burung gagak, sampaikan salamku padanya. Salam bagi
Yang sudah melangkah atas keyakinan. Salam bagi
Yang sudah berani bikin perhitungan tandas sekali.
Gunung-gunung yang membatu, gersang dan kering,
                                                kan takluk pada tapaknya
Satu demi satu kan dilewatinya. Ia terjang dunia mati.
Burung gagak, kini ia berjalan. Melangkah dengan gagah
Ia tahu di balik gunung ada mimpi, ada lembah
Tidak cair meleleh seperti bumi yang menggolak ini.
Semua kan tunduk kepadanya.
Semua kan menyerah pada langkahnya. Karena ia berjalan
Biarkan dia berjalan!
Gunung dari lembah sana, gaung dari mimpi diri.
Burung gagak, ia dengar nyanyi itu. Dan ia menuju ke situ.
Pohon-pohon mati dan sepi. Padang pun mati dan sepi
Batu-batu mencongak ngeri, tajam dan mengancam
Tapi ia melangkah menuju lembah-lembah mimpi.
Ia sendirian. Batu-batu dan alam geram.
Gunung mendinding di ujung. Langit pun kan menerkam.
Dan ia melangkah dengan pasti: Batu cair jadi beku
Langit pun jadi membiru, mengucapkan selamat jalan
Menempuh kehidupan.
Burung gagak, burung gagak, biarkan dia berjalan
sampaikan salam yang erat dan hangat. Ia yang yakin
Ada mimpi di balik gunung batu, ada lembah hijau dan lembut
kehidupan tenang, sawah-ladang, padang rumput....
Jangan kauganggu!
1955

0 comments