Ajip Rosidi- Antalogi Kaki langit lain dalam 3 kumpulan sajak Jeram

       Ajip merupakan adalah sastrawan indonesia, ia juga berprofesi sebagai penulis, budayawan, dosen, dan redaktur beberapa pernebit, dan juga pendiri serta ketua yayasan kebudayaan rancage, ajip merupakan salah satu pengarang sajak dan cerpen yang paling produktif. Karyanya banyak dimuat dimuat dalam majalah. Ia juga aktif dalam menulis drama, cerita rakyat, cerita wayang, bacaan anak-anak, lelucon, dan memoar serta menjadi editor beberapa bunga rampai. Berikut saya tampilkan Antalogi puisi Kakilangit lain pada buku 3 kumpulan sajak yang berjudul Jeram



Tiada yang lebih aman

Tiada yang lebih aman, pun tiada yang lebih nikmat
Membayangkan masalampau yang dalam kenangan yang terpahat.
Tiada yang lebih berat, pun tiada yang lebih berarti
Dari saat kini yang ‘kan seg’ra lepas pula jadi mimpi>
Tiada yang lebih gamang, pun tiada yang lebih senang
Menghadapi masadatang, yang ‘kan segera jadi sekarang.
Detik-detik berloncatan, tak satu pun kembali terulang
Karena antara tadi dan nati, sekarang menghalang
1962

Jeram

Air berterjunan dalam jeram
Buihnya memercik ke tebing tempat kami berbaring
Dan ia mengelaikan kepala
dengan mata meram terpejam
Atas tangaku yang mencari-cari
Arah manakah burung gagak hinggap
yang suaranya nyaring
Memecah ketenangan hutan
Sehabis hujan.
Air berterjuanan dalam jearam
Jeram gemuruh dalam darahku
Dan dalam mimpi keabadian yang nyaman
Kubisikkan kata-kata bagaikan desir angin
Mengeringkan keringat atas kening
Sedang matakui memandang tak yakin
Air berbuih yang menghilir
Entah kapan ‘kan tiba
Di muara
Air berterjuanan dalam jeram
Kata-kata berterjuanan dari mulutku
Sungai pun tahu arti muara
Yang tak sia-sia menunggu.
Burung gagak berteriak entah di mana
Dan ia bersenandung entah mengapa
Karena dalam kesesaatan tak terjawab tanya lama
Yang sudah lama hanya tanya: Hingga mana? Pabila? Mau apa...?
Dan dengan jari-jari gemetar
Kuyakinkan hatiku sendiri: Segalanya
Berlaku percuma serta sia-sia
Dan perempuan ini ‘kan mati dalam kepingin
Karena angin hanya angin
Karena jeram berterjuanan dalam diriku
yang tak mengenal musim kemarau
Air berterjunan dalam jeram
Dan jeram erterjunan dalam darahku
1962

Episode

Di luar alam gerimis
karena kau menangis
dan airmatamu
membasahi dadaku.
Padang ilalang bergelombang
dan angin semiir,
rumpun bambu berkesiur, menghilir
gemuruh airterjun, menghilir
Adalah mimpi yang jauh
adalah harapan yang jauh
dalam cinta yang rapuh
Yang abadi
di dunia sebelum mati
hanya kenangan
yang muncul sesekali
1963

 Hari Lebaran

Hari ini hari hati percaya
Akan arti hidup dan mati, yang Cuma sempat
Direnungkan setahun sekali. Sungguh besar maknanya
Jalan panjang menuju liang-lahat.
Hari ini kesadaran akan tradisi
Menyempatkan umat sejenak bersama-sama
Menghirup udara lega dalam kepungan derita
Sehari-hari yang bikin orang jauh-menjauhi.
Hari ini hariku pertama ‘kan menjalani
Hidup antara manusia, sedangkan diriku sendiri
Makin sepi terasing, lantaran mengerti
kelengangan elang di langit tinggi.
Jariwangi, H. 1381

Harituaku

Pabila harituaku tiba, kelak suatu masa
Kacamata tebal atas hidung, bersenandung
Menembangkan lelakon lama. Lalu tersenyum
Memandang bayangan atas kaca jendela
Yangp utih warnanya, sampai pn alis, bulu mata...
Maka namamu ‘kan kusebut, dengan bibir gemetar
Bagai ayat kitab suci, tak sembarang boleh terdengar
Namun kala itu yang empunya nama entah di mana
Apakah lagi menyulam, duduk bungkuk atas kursi rotan
Ataukah sedang menimang cucu, mungkin pula telah lama
Aman berbaring dalam tilam penghabisan
Dan pabila giliranku tiba, telentang
Dengan kedua belah tangan bersilang
Sebelum Sang Maut menjemput
Sekali lagi namamu ‘kan kusebut, lalu diam. Mati.
1963

Kebenaran

Buta oleh dusta yang membias-silau
nila-nilai kebenaran pun disembunyika:
namun di antara semak-rerumputan hijau
ia tetap bersinar kemilau:
                        Tak nanti terpadamkan!

Ibunda

Ia terbujur
bumi subur
lembah-lembah dan gunung
Telentang tenang
Tangannya mengusap sayang
Perut mengandung.
Matanya nyalang
Langit-langit pun hilang
Karena langit penuh bintang
Dan pahlawan menyandang pedang
Naik kuda hitam zanggi
Adalah masa depan si-jabang
yang dalam rahim
menggeliat geli.
Ia memejam
Menahan nyeri.
Lalu terbayang
Bundanya tersenyum di ambang
“Tidakkah dahulu
Kusakiti juga bundaku?”
Keringat bermanik bening
Atas jidat, kening.
Ia mengerang
Dan malam yang lengang
Mendengar  lantang
Teriakkan si-jabang.
1961
Sajak buat Tuhan

I

Kalau aku bicara padaMu, Tuhan
Bukan mau megadukan dera dan derita
Tak kuharap Kau berdiri di depan
Ke dahiku mengeluskan tangan mesra
Kalau kutulis sajak ini, Tuhan
Bukan lantaran rindu-dendam atau demam
Tak kuharap Kau membacanya
Sambil duduk mengisap pipa kala senja
Karena Kau lebih tahu apa rasa hatiku
Dan mengerti bagaiman pikiranku
Karena Kau paling Aku dari aku
Yang terkadang kesamaran sama bayangan.
8-1-1960
Sajak Buat Tuhan

II

Makin terasa, betapa sendiri
hidupku bermukim di bumi. Tiada kawan
yang mau mengulurkan tangan
dan sedia bersama menempuh jalan
tatkala tiap langkah buntu,
Tak seorang pun, juga Kau
datang mendekat, menepuk-menepuk bahu
Tiada. Hanya aku saja lagi
yang setia padaku. Hidup bersama
dalam duka dan putusasa.
Hanya aku jua, ytang tetap cinta
kepada hidupku, tiada dua! Duh, tiada
lagiyang lain kujadikan gagang
tempat sirih pulang.
Rasa sendiri di dunia ramai, mengeratkan
aku padaMu, sepi-mutlak!
Rasa lengang di tengah orang, menyadarkan
antara Kau dan aku tiada jarak!
‘Saat seluruh bumi diam sunyi....
16-4-1960

Aku

Tinju menghantam. Belati menikam.
Seluruh dunia bareng menyerang, menerkam
Aku bertahan. Karena diriku
Dalam badai, gunung membatu.
Lengang sebatang pinang
Di padang pusaran topan.
Segala arah menyerang. Dari luar, dalam
Tikaman tiada henti. Siang, malam.
aku bertahan . Karena hidup
Muatan duka nestapa
Yang kuterima ganda ketawa
1963
Tentang maut

I

Kulihat manusia lahir, hidup, lalu mati
Menerima atau menolak, tak peduli
Dengan tangan dingin namun pasti
Sang Maut datang dan tiap hidup ia akhiri
Kuperhatikan perempuan sedang mengandung
Wajahnya riang, mimpinya menimang si-jabang
Namun kulihat Sang Maut aman berlindung
Dalam rahim sang ibu ia bersarang.
Kuperhatikan bayi lahir
Dan pertama kali udara dia hirup
Dalam tangisnya kudengar Sang Maut menyindir:
“Jangan nangis, Kelak pun hidupmu kututup”.

II

Yang kukandung sejak hidup kumulai
Takkan kutolak, meski ia kubenci
Tapi kalau hidupku nak dikunci
Datang Tuhan menawari:
“Sukakah kau hidup semenit lagi”
Kujawab pasti : “Suka sekali!”

III

Seperti gelap bagi kanak-kanak, pernah pada Maut aku ngeri
Karena tak berketentuan, bisa nyergap sesuka hati
Membayangi langkah, mengintip menanti saat
Dan bagi kesadaran jadi beban paling berat.
Kupertentangkan ia dengan Hidup yang seolah’kan dia rebut
Kupilih pihak: Karena pada siksa neraka aku takut;
Namun kini tiada lagi, karena selalu kudapati
Napasnya menghembus dalam tiap hidu yang fana ini.
1960

Diriku

Diriku samudra
Dilayari kapal, perahu, bajak
Tiada jejak.
Yang sementara
berasal dari Tiada
‘Kan lenyap dalam
Tiada
1961

Cinta dan kepercayaan

Dalam hidup’ kan kupertahankan
Nilai hubungan antar-manusia, didasrkan
Atas cinta dan kepercayaan.
‘Kan kupertahankan kehangatan
Gamitan dua tangan, menyampaikan
Kehangatan rasa dua jiwa.
Cinta adalah bunga tumbuh
Atas kesuburan tanah kasih, Berakarkan
Hati mau mengerti, saling membagi.
Dan kepercayaan, landasan
Kerelaan dan kemesraan.
Pertalian dua hati.
1960

Tretes malam hari

Di tretes malam hati
Semuanya jadi mati:
Surabaya nun jauh di bawah
Gunung Wilis terpacak sebelah kiri
                        (Aku teringan akan leluri
                        Tentang Buta Locaya dan Plecing Kuning)
Apakah Waktu di sini Berhenti
Mengendap dalam cahaya lampu pelabuhan
                        Di tepi kaki langit?
Angin naik dari lembah.
Bayang-bayang daun bergoyang
Rumput-rumput pun berdesir.
                                    Ataukah
Hanya hatik bergetar?
Kucari kau,.
Kucari di remang hijau.
Yang mengambang di muka kolam
Wajahmu ataukah bayangan bulan?
Lalu kututupkan jendela.
Malam lengang. Malamku yang lengang.

Hanya dalam puisi

Dalam kereta api
Kubaca pusisi: Willy dan Mayakowsky
Namun kata-katamu kudengar
Mengatasi derak-derik deresi.
Kilempar pandang ke peluh
Para petani yang terbungkuk sejak pagi
Melalui hari-hari keras dan sunyi.
Kutahu kau pun tahu:
Hidup terumbang-ambing antara langit dan bumi
Adam terlempar dari surga
Lalu kian kemari mencari Hawa.
Tidakkah telah menjadi takdir penyair
Mengetuk pintu demi pintu
Dan tak juga ditemuinya: Ragi hati
Yang tak mau
Menyerah pada situasi
Dalam lembah menataplah wajamu yang sabar.
Dari lembah mengulurlah yang gemetar.
Dalam kereta api
Kubaca puisi: turihan-turihan hati
Yang dengan jari-jari besi sang Waktu
Menentukan langkah-langkah Takdir: Menjulur
Ke ruang mimpi yang kuatur
                                                Sia-sia
Aku tahu.
Kau pun tahu.
Dalam puisi
Semuanya jelas dan pasti.
1968

Kucari Musik
Kucari musik
Yang berisik
yatng berontak
            Memberangsang
Kucari musik
yang sejuk
yang mengalun
            Tenteram
Kucari musi. Setiap saat kucari musik.

Musik yang menggairahkan
Mengendap dalam hati.
Musik menyelinap dalam celah-celah waktu
Merasuk dalam jiwa
Mengusap luka-luka hidup yang nyeri
Dan menidurkan tangan-tangan durhaka yang lelah
Dalam pangkuanMu
                        Maka kasihMU
                        Mengalir abadi.
1968

Mimpi kita siang hari

I

Dalam terik sinar matahari
Kulihat kau melambai:
Bayang-bayangku ataukah aku sendiri
Yang kaupeluk dan kaubelai?
II

Kebun belakang rumah, kolam ikan
anak-anak bermain, kau menyulam
Menjalin helai-helai peruntungan kita
Dengan benang cinta.
III

Ddalam cahaya rembulan
Kau perlahan bersenandung
Meski terpisah gelombang lautan
Kudengar sansai suaramu murung
IV

Jalan lengang panjang,
                        Wahai!
Mengarah ke balik kelam,
                        Aduhai!
1969

Tamu
Kau yang menjenguk ke dalam relung hatiku
Meninggalkan jejak menjadi saksi. Sejarah, pahatan batu
Dari dendam yang rindu. Tak nanti
Hidup hanya rangkaian mimpi-mimpi. Aku tahu
1969

0 comments