Ajip Rosidi-Antalogi Satu saat dalam sejarah dalam 3 kumpulan sajak Jeram

      Ajip merupakan adalah sastrawan indonesia, ia juga berprofesi sebagai penulis, budayawan, dosen, dan redaktur beberapa pernebit, dan juga pendiri serta ketua yayasan kebudayaan rancage, ajip merupakan salah satu pengarang sajak dan cerpen yang paling produktif. Karyanya banyak dimuat dimuat dalam majalah. Ia juga aktif dalam menulis drama, cerita rakyat, cerita wayang, bacaan anak-anak, lelucon, dan memoar serta menjadi editor beberapa bunga rampai. Berikut saya tampilkan Antalogi puisi Satu saat dalam sejarah pada buku 3 kumpulan sajak yang berjudul Jeram




Kepada Tuhan

Tuhan. Kulihat tanganMu mengulur gemetar
dalam mata anak yang lapar. Dan perutMu melilit
Dalam permainan licik bandit-bandit. TubuhMu telantar.
Terlupakan dalam onggokan bangkai membukit.

Tuhan.Kudengar suaraMu parau
Dalam riuh-rendah caci-maki para penipu
Yang saling tuduh,saling tinju
Tapi bersama-sama seria mengisap darahMu.

Tuhan.Kusaksikan diriMu diinjak kawanan kerbau
Yang liar,garang dan kejam. Memandang haus dunia
Yang Kauharamkan dalam kitabMu,tapi Kausediakan
Dalam dirinya.Tiada kendali.
1962

Panorama tanahair

Di bawah langit yang sama
manusia macam dua: Yang diperah
dan setiap saat mesti rela
Mengurbankan nyawa, bagai kerbau
yang kalau sudah tak bisa dipekerjakan, dihalau
ke pembantaian, tak boleh kendati menguak
atau cemeti ‘kan mendera; ----
dibedakan dari para dewa
malaikat pencabut nyawa, yang bertuhan
pada kemewahan dan nafsu
yang bagai lautan: tak tentu dalam dan luasnya,
menderu dan bergelombang
sepanjang masa
Di atas bumi yang sama
Manusia macam dua: Yang menyediakan tenaga
tak mengenal malam dan siang,
mendaki gunung, menuruni jurang
tak boleh mengenal sakit dan lelah
bagai rerongkong-rerongkong bernyawa selalu digiring
kalau bukan di kubur tak diperkenankan sejenak pun
                                                            berbaring; ----
dipisahkan dari manusia-manusia pilihan
yang mengangkat diri sendiri dan menobatkan
ipar, mertua, saudara, menantu dan sahabat
menjadi orang-orang terhormat dan keramat
yang ludah serta keringatnya
memberi berkat.
Di atas bumi yang kaya
manusia mendambakan hidup sejahtera
DI atas bumi yang diberkahi Tuhan
Manusia memimpikan keadilan.
1962

Aku terjaga tengah malam

Aku terjaga tengah malam, hening dan tenteram
Gunung kelabu samar membatu
Elahan napas alam yang berat mengembus pelan
Dan dengan napas sendiri tertahan
Kusimakkan tenaga gaib tersembunyi
Mengajak bangkit, menempelak, meludah penuh dendam
Mengajukan kepalan, mata merah, terbakar amarah
Karena terlalu lama dirinya terlupakan
Dalam pesta pora kesewenang-wenangan
Karena terlalu lama dirinya dijual
Dalam berbagai pidato dan penipuan
Karena terlalu lama dirinya dijagal
Dalam berbagai pemerasan berkedok kemakmuran
Karena terlalu lama dirinya diinjak
Dalam berbagai upacara kemerdekaan
Kini tenaga oenuh semangat gaib
Kusimakkan seperti lahar dalam perut gunung
Bangkit, menggemuruh tiada tertahan
Melanda segala penghalang
Mengacungkan tangan ke muka
Menejerang segala perintang
Tapi malam hening sepi, detak jantung sendiri
Dalam tenteram buli lelap, suara hati ingin diam tetap:
Tidakkah sia-sia dendam mengangkat tangan
Tidakkah sia-sia pembunuhan menghancurkan pemerasan
Tidakkah bentuk baru ‘kan muncul: Di mana pesta berulang
Sedang si kecil, makin bungkuk dan renta
Diinjak dan diperas tenaga?
Tidak. Semangat akan harapan dalam impian
Memberi keremajaan pada darah dan urat kendur
Memberi unggun dingin api berkobar
Bah membanjir dalam kali gersang
Banteng melihat kain merah mengibar
Tidak. Semangat akan harapan dalam impian
Puas terbaring dengan senapan di tangan
Tak kecewa mati sedang berjuang
Tak percuma derita buat harapan masadepan
Karena hidup manusia selalu dipersembahkan
Pada hari depan redup di jauhan
Bagi ketentuan yang tak berketentuan
Karena tenaga dikerahkan
Untuk memutuskan belenggu
Demi kebebasan.
Tiada hentinya sepanjang zaman
Perjuangan manusia, selalu terlibat kembali
Dari belenggu ke belenggu baru
Dari pemerasan ke pemerasan lain
Namun tiada jemu, berontak harapkan impian
Tiada bosan, melawan harapkan kemerdekaan
Tiada damai dalam diri manusia
Meluap dan menggelegak, tiada tara.
Manusia selalu melawan terhadapa takdir
Tak percaya terhadap ketentuan azali
Karena percaya akan tenaga senduri
tersimpan di balik mata redup atau celi
Larut dalam urat kendor atau tegang
sembunyi di balik baju bertambaldan rombeng
Menyala dalam dada tipis kerempeng
Tiada’kan habisnya. Setiap zaman. Dan manusia
Mendengar, melihat, menyaksikan dan menyimakkan
Pembrontakkan manusia terhadapa kekuasaan
Yang dalam mencengkam diri
Dan kala aku terjaga tengah malam
Kudengar pula semangat gaib bangkit dan tertahan
Bagai lahar dala  perut gunung berapi
Semangat perjuangan mengamang tinju ke depan
Karena harapkan kemerdekaan dan kedamaian
Bagi haridepan yang redup di jauhan.
Berulang dan ‘kan berulang lagi
Manusia memberontak terhadap diri.
Cihideung, 20 Mei 1960

Kepada Penyair

Penyair. Kaulah prajurit terahir
Yang meski dengan pena patah, mesti menegakkan Kebenaran karena dunia
Tak boleh kaubiarkan tenggelam
dalam lautan fitnah dan taufan penghianatan.
Kaulah yang takkan berdiri
Di pihak pemimpin palsu dan penipu. Tak perlu menilat
Kare kau tak bakal kehilangan pangkat. Tak perlu takut
Karena kau tak nanti membiarkan bangsamu makan rumput.
                                                                        Kau’kan
Tegak di depan si kecil yang lapar mengigil.
Kaulah pembela si lemah
Yang tak habis-habisnya diobral dan dijual
Oleh si pembual dari rapat ke rapat. Namun tak pernah
sekali pun ia teringat: Rakyat pun hidup dan mampu melihat
Segala kepalsuan yang hendak ditutupi
Dengan semyoan dan janji.
Penyair! Asah pena, sihirlah
Kebenaran dan keadlian bagi si kecil
Yang tak pernah jemi berkurban, sabar dan rela
Demi cita-cita yang mulia.
1965
Kau! Kau yang bicara!

I
Apa artinya sajak
 
kalau setiap saat manusia dapat ditembak
Hanya lantaran bedil tersandang
Dan hatimu meradang!
Apa artinya puisi
Kalau pintu penjara terbuka
Hanya lantaran merasa kuasa
Dan hatimu mendendam benci?
Kutulis sajak ini
Karena pennyair
Terhindar dari takdir jadi beo yang latah
Puisi pun harus menembus
Hidup-aman dalam-bungkaman
Ditindas kesewenang-wenangan
Penyairlah yang bicara
Menyampaikan hasrat-kodrat manusia:
                                    Kemerdekaan!
                        II
Kau. Kau bicara tentang hak
dan orang lain kaukurniai hak-bayar-pajak
Kau biacara tentahng kewajiban
tapi dirimu sendiri licin bagai kancil,
memilih kewajiban-memberi-perintah, memetilk-hasil
Kau. Kau bicara tentang kemakmuran
sedang petani-petani tak kau biarkan makan nasi
tenang mengerjakan  sawah dan landang
dan pedagang-pedagang tak kau biarkan lunas dari utang
dan guru-guru kauharuskan turut memburu
beras dan gula, minyak tanah dan peda
dan pengarang kauperas hingga tulang
sumsumnya pun hendak kauhisap, agar diam.
Kau. Kau bicara tentang kemerdekaan bicara
sedang suara yang hendak kaudengar hanya “Setuju!”
kalau ada yang berbunyi lain, alismu mengernyit
kaukutuk dia: “Penghianat bangsa!”
karena hanya kau pahlawan—tiada dua.
Ah, manusia ini hanya debu, kautahu
Dan antara debu dengan debu
tiada Tuhan, tiada pahlawan
kalau satu dewa yang lain pun dewa pula.
                       
                                                                                  III
 
Tidaklah pernah dalam tengah malam sunyi
Selagi kau telentang
mendengar suara nuranai
berbicara lantang?
Dari hidup manusia, dialah yang tak pernah dusta
Dari diri manusia, dialah yang aling murni
Sepuhan, pakaian, tiada guna, lantaran dia
paling mesra dengan hati.
Kau. Bicaramu selalu tinggi
Mimpimu selalu hijau
Atas segala kata, atas segala mimpi
Apakah telingamu tuli, ataukah
nuranimu bisu bagai batu tak bertatah?
Kau. Hatimu yang selalu pura-pura
Tidakkah kepada dirimu sendiri kau tak kuasa
Kendati hanya sepatah dusta?
Setelah membaca sajak ini,
pejamkan matamu, lalu hening
dalam malam yang tenteram: merenung
menjelma ke dalam relung
rongga-rongga dasar jiwamu: kenalkah kau
kepada mata kuyu yang kausuruh makan batu
?
Kenalkah kau kepada tubuh-tubuh begung
yang tak jemu kausuruh menanggung?
Kenalkah kau kepada dada gambang
yang dikerahkan dari satu ke lain rapat
untuk bertepuk tangan, menarik urat, memuaskan hatimu
yang tak jemu disanjung?
Hidup ini di atas bumi fana
segalanya pun fana. Sajak ini
menolak kefanaan, dia menyadarkan
manusia yang riwa
mimpi jadi Tuhan.
Bumi fana, menampung hidup fana.

IV

Kau. Kau yang selalu bicara
sekali ini dengarkan, dengarkanlah
suara orang yang mungki
dengan suaramu sendiri berlain.
Kau. Kau yang selalu bicara
sekali ini dengarkan, dengarkanlah
suara yang adalah suara paling dalam
keluar dari hatimu sendiri
dalam malam hening sepi.
Karena sajak ini bukan mimpi
remaja merindukan cinta, tapi
mengajak kau menjenguk nurani
yang telah lama kaujauhi ---- kauhindari
Karena sajak ini bukan lamunan
penyair tak tentu kerja, melainkan
membangunkan kau yang gamang
terumbang-ambing di pinggir jurang.
Karena sajak ini’kan jadi bungkus roti
kalau petani mampu menyanyi malam hari,
tenang mengerjakan sawahnya lagi,
lepas dari intipan takut, gelisah, bimbang;
kalau pedaagang senang menembang sepanjang hutan,
selagi menjajakan beras, gula, garam;
dan kalau segala mimpi bukan lagi
hanya onggokan kata dan kertas, tertumpuk tinggi,
tapi telah menjadi hidup manusia sehari-hari.
Jatiwangi, November 1961

Perhitungan habis tahun
Kawanku, seorang penyair

I

Apa lagi yang tinggal
Karena bagimu tiada’kan sesal:
Toh segalanya telah matang ditimbang!
Telah kaumasuki
Semua lorong dan pelosok bumi
Telah kaucium
Bunga paling harum, buah paling ranum
Dam telah kutempuh
Segala jalan hingga pun yang paling jauh.
Lalu kauambil langkah
Kaupetik buah dari dahan yang rendah
“Inilah! Tak kumau yang lain!”
Maka masihkah kini mungkin
Kaulemparkan lagi hingga pecah termin!

II

Kaubilang: “ Apa pun jua
Dalam kenangan letak nilainya!”
Lalu kauisap pipa, kaunikmati secangkir kopi
Sambil bersandar
Kaukunya jagung bakar
Dan dengan tenteram kaubaca koran, lalu kausimpulkan:
“Telah kupilih jalan terbaik
Karena yang lain semja munafik.
Kupilih jalan yang membawa selamat
Karena orang pun menaruh hormat
Mendegarkan aku mengeluarkan pendapat.”
Dan sambil meram terpejam
Kaurenangi ketenangan senja
Yang terganggu oleh terakan anak-anak di lapangan
Memperebutkan layangan.

III

“Tiada kucari
Segala yang mempersulit diri. Bodohlah
Mereka yang tak mau yang mudah.”
Lalu kauanggap kaulah paling cekatan
Mengayuh biduk mengarungi lautan. Tak tahu
Laut malah diterjang gelombang:
Yang nampak piala kehormatan terbukti belati
Mengancam mati.
Kaucoba pertahankan
Hempasan badai dengan seutas benang:
---- Mana dapat?
Sehingga sia-sia kau mengumpat
Sia-sia kau membela diri
Meski kauhadirkan saksi-saksi
Mengapa tidak kauakui saja
Telah kaubeli karcis yang salah
Telah kaunaiki kapal sesat
Meski sebagai penumpang gelap?
(Karena terkadang
Hal yang kelihatan gampang
Adalah tumpukan kesulitan
adalah gunung kesukaran
Adalah risiko terbesar
Yang daripadanya kau tak mungkin terhindar)

IV

Kauusap sayang kepaa anakmu sulung
Sementara kau pun tahu: Derita menanggung
Adalah haridepannya yang ‘kan selalu mengepung
Karena telah kaupermainkan jari nasb dengan curang
Sehingga ia terasing dari kasih sayang
(“Anak-anak adalah taman
anak-anak adalah boneka
Namun mereka meraihkan tangan
Meminta Cinta”)
(“Anak-anak adalah bunga
Anak-anak adalah bidadari
Yang mengulurkan tangan
Dari pintu surga”)
“Pergilah main!” kaubilang
Padahal kauingin lupakan segala kenangan
“Pergi!”
Namun kauhindari matanya yang memandang
Karena kau pun mengerti
Tiada yang lain ‘kan seperti anakmu mendakwa
(“anak-anak
anak-anak adalah jarum
anak-anak adalah peniti
Yang mencucuk mata
Namun tak berdosa”)
Lalu kaurebahkan tubuhmu
Tapi ranjang bukang ranjang dulu lagi
Bantal juga bukan lagi bantal lama
Kini berduru dan berapi
Sehinggau kau berdiri
Kauambil sepatu dan topi
Dan berjalan
Menempuh malam yang basah oleh hujan
(“Jari-jari malaikat
menusuk-nusuk muka
Lalu cair di bumi coklat
Yang menguapkan bencana”)
Kau pun terkenang
Akan jalan-jalan kehidupan
Akan sahabat-sahabat, kawan-kawan seperguruan
Yang selama ini kauhindari
Karena kau tak suka teguran dan peringatan
Tinggalah sendiri:
---Juga matahari
Kaujauhi!

V

Lorong kehidupan yang kutempuh
Bukan hanya tempat menjangkarkan sauh untuk berlabuh
Seperti segala jalan
Tidak semua menuju ke arah taman
Kausigi kenyataan
Tidak hanya yang nampak di mata
Terasa sebagai permainan, menyentuh-nyentuh Kebenaran
Namun tak kunjung sampai pada intinya!
Kauanggap hidup ini semata persinggahan
atau senyampang suatu impian ----
Maka kautolah Nabi-nabi yang membawa kebenaran
Lalu kaupilih sesamamu sendiri
Siapa yang paling berkenan d hati
---- Meski tidak semudah
Memilih bunga yang paling indah.
Kausadari kefanaan segala
Yang melekat dalam hakikat manusia. Kaubilang: “ Jadi apa lagi
Yang mesti dibela dengan tarihan mati? Sekali ini
Dan hanya sekali ini aku singgah di bumi, lalu habislah
Menjadi mangsa cacing dan renik
Yang berpesta sampai pun atas jasad paling cantik!”
Waktu berlalu tiada henti
Bersama ubanmu yang tunbuh tak kaumaui
Tapi hati----
Ah, adakah yang ingin selalu remaja seperti hati?
Tahun demi tahun lewat
Terbenan dalam kenangan yang sesekali teringat
Tapi hati-----
Adakah lagi yang lebih tegas menolak mati?
Sudah kaulingkari
Separo belahan bumi: Dari Tokyo hingga Helsinki
Dan di mana-mana
Selalu kaudapati dirimu yang dikejar-kejar
Untuk menyatakan sesuatu yang benar: Begitu sederhana
Namun begitu dihindari
Dalam hidup yang fana ini.

VI

Kini semuanya telah menjadi riwayat
yang mungkin dicatat oleh para perawi
Yang gemar meneliti. Namun bagimu sendiri
Satu jilid kehidupan sudahlah tamat.
Mungkin kauambil buku yang lain
Tapi kau akan sia-sia
Mencoba menutup segala yang terbaca
Karena bukankah: apa pun jua
Dalam kenanganlah letak nilainya?
Harus kauambil cermin
Untuk menemukan Kebenaran lain
Daripada yang nampak di tepi langit
Yang selama ini tak pernah kaulihat selain bukit
Padahal hutan-hutan lebat
Adalah dunia yang senantiasa minta pengamatan
Adalah kehidupan yang senantiasa minta perhatian
Dan sebelum melangkah
Lebih dulu kautetapkan: “Dalam hujan berbasah-basah
Atau kupilih kamar sendiri
Di mana diriku terasing
---- juga dari segala yang kusayang. Tiada lagi
Tempat buat berpaling....”
Kauharus yakin dulu: Hidupku di dunia
Mesti berada di tengah-tengah manusia. Dan rakyat----
Adalah sesuatu yang paling dekat
Adalah kenyataan paling mesra
Adalah kekuatan hakiki
Tak boleh terpisah
Selama berjoang
Dalam iman menegakkan kebenaran...?
Insya Allah!
1965-1966

Satu saat dalam sejarah

Beginilah kisahnya:
Dalam dinding-dinding penjara
Terpahat sudah
Nama para perwira
Yang tak pernah mengalah
Yang tak pernah menyerah
Haram takluk pada ancaman
Pada segala kekuasaan
Yang bernama kedzaliman.
Dalam dinding-dinding hati
Tertulis sudah
Nama para pejuang
yang dari mulutnya yang disumbat
Senantiasa mengumandang
Gema kasih sayang
Terhadap sesama umat
Terhadapa bumi
Terhadap bangsa
Bernama Indonesia
(Meriam dan senapan
Di tiap sudut
Mengancam setiap saat)
Maka
Segala kekejaman kedzaliman
Segala kekerasan kesewenangan-wenangan
Segala pasukan kekuasaan
Menjadi kapal
demi didengarnya
Nama-nama sederhana
Yang sudah lama dilupakan:
Kebenaran.
            Keadilan.
Dan suara hati
Yang selama ini tertutup
lalu meletup
Menggugahkan budi nurani
Dan membangkitkan seluruh bangsa
Dari ketakutannya.
Kota-kota
Gunung-gunung
Lembah-lembah
Dan sungai-sungai
Menjadi berjiwa
Dan segala hutan
Pun rerumputan
Menjadi senjata
Tangan-tangan kecil yang adil
Tangan-tangan lemah yang ramah
Tangan-tangan
yang bersumpah
Atas nama segala yang suci
tak nanti berhenti
Membelah martabat manusia
yang selama in
Hanya menjadi landasan
Kesewenang-wenangan perseorangan
Waktu mulut-mulut mungil
Yang menuntut keadilan
Membuka suara
Maka segala meriam pun bungkam
Maka segala senapan pun diam
Dan segala kedzaliman
Gemeletuk lutut-lutunya
Tulang-tulang sendirnya gemerincing nyaring
Mencari persembunyian
Di belakang dinding-dinding
Yang gelap dan oekat
Sambi mengatur siasat
Mengerahkan kekuatan-kekuatan iblis
Dan penjahat-penjahat bayaran
Yang kehabisan alasan
Lalu terbunuh.
Namun bersama jatuhnya syuhada
Bangkitlah Manusia
Menggerakkan tangan Sejarah
Mengulangi kembali kisah
Yang sudah berkali-kali
Dialami:
                                    Pertarungan Abadi
                                    Dalam diri Manusia
                                    Yang sia-sia
                                    Mengerti dirinya.
Demikianlah:
Kebenaran menyingsing
Kepalsuan terguling
Dan keadlian
Menjatuhkan kesewenang-wenangan
Seperti telah senantiasa terjadi
Di muka bumi ini:
                                    Manusia tak hetinya
                                    Mengulangi kisah yang sama
                                    Kisah yang sama
                                                Yang sama ---- ---- -----
Bandung, September 1966

Sajak buat sebuah nama

Telah kausiram bumi pertiwi
dengan darahmu yang merah: Maka kini
kaulihat pemimpin-pemimpin besar cakap
tak lebih dari para pemain  sulap
yang bersumpah atas nama Tuhan
hanya untuk pangkat dan kedudukan.
Telah kauberi contoh keikhlasan berkurban
terhadap tanahair, bangsa dan Kebenaran
yang selama ini hendak dipalsukan
di bawah kebuasan nafsu dan kesewenang-wenangan.
Dan telah kaubuktikan bahwa dari apa pun
lebih kucintau Kemerdekaan. Kehidupan
manusia-budak yang bergelimang kemewahan duniawi
kautolak dengan tegas dan pasti. Lalu secara sedarhana
kaupilih Keadilan—yang lama telah dilupakan
meski para pemimpin tak kunjung henti
menjajahnya dalam pidato berapi-api
dengan berbagia slogan dan semboyan
yang tak satu punya arti
bagi kehidupan rakyat sehari-hari.

Memandang kehidupan

Memandang relung-relung kehidupan
Aku tak tahu pasti
Apakah mungkin menjadi
Seorang tua yang tenang baca koran
Di tengah ribut dunia kebakaran?
Kusaksikan diriku dan kawan-kawan
Sambil makan kacang dan asinan
Memperbincangkan nasib negara
Sengit berdebat
Penuh semangat memberi perintah
Menentukan haluan dunia
Tidaklah lebih baik kita tenggelamkan
Segala rumus dan perhitungan di warung kopi
Selagi matahari belum tinggi?
Atau kupilih saja ketenangan kursi goyang
Saban pagi semangkuk sus dan setangkup roti?
Masih pula merasa kuatir
Akan kepastian hari esok: Bukan tak mungkin
Tuhan tiba-tiba bertitah: Berhenti!
Maka planit-planit bertubrukan, bintang-bintang padam.
Lalu apa yang masih dapat dicapai?
                        Sedangkan bumi tak lagi pasti.
Yanng tinggal hanya angan-angan yang panjang,
                                                dan kelam. Sedang
Angan-angan pun
membutuhkan suatu landasan
Kuteliti tangaku: urat-uratnya, tulang-tulangnya....
Bisa saja lenyap tiba-tiba. Tak satu pun kupunya.
                                                            Selain do’a.
                                                                                                1968

Do’a

Tuhan. Beri aku kekuatan
Menguasai diri sendir, kesunyian
dan keserakahan. Beri aku petunjuk selalu
untuk memilih jalanMu, keridoanMu. Amin.
 

0 comments