Chairl Anwar- Antalogi Puisi Yang Terampas dan Yang Putus

Kumpulan Puisi ini merupakan salah satu karya puisi yang di ciptakan salah legenda pelopoor puisi angkatan '45 Chairil Anwar. Antalogi puisi ini merupakan  buku antalogi puisinya yang berjudul “Yang Terampas dan Yang Putus” . Chairil Anwar di kenang dengan gaya bahasa puisinya yang tajam dan dijuluki "Si Binatang Jalang". Dikarenakan salah satu puisi pertama yang di bacakannya di Pusat Kebudayaan Jakarta pada bulan Juli 1943 . Berikut Antalogi Puisi Chairil Anwar



Fragmen
Tiada lagi yang akan diperikan? Kuburlah semua ihwal,
Duduklah diri beristirahat, tahanlah dada yang menyesak
Lihat keluar, hitung-pisah warna yang bermain di jendela
Atau nikmatkan lagi lukisan-lukisan di dinding pemberian
                                                                 teman-teman kita

Atau kita omongkan Ivy yang ditinggalkan suaminya,
jatuhnya pulau Okinawa. Atau berdiam saja
Kita saksikan hari jadi cerah, jadi mendung,
Mega dikemudian angin
- Tidak, tidak, tidak sama dengan angon ikutan kita…….
Melupakan dan mengenang

Kau asing, aku asing

Dipertemukan oleh jalan yang tidak pernah bersialng
Kau menatap, aku menatap
Kebuntuan rabisa yang kita bawa masing-mkasing
Kau pernah melihat, melihat laut, melihat gunung?
Lupa diri terlambat tinggi
Dan juga
diangkat dari rumah sakit satu kerumah sakit lain
Mengungsi dari kota satu ke kota lain? Aku
sekarang jalan dengan 1 1/2 rabu
Dan
Pernahpercaya pada lerbuhanan soal………….
Tapi adakah ini kata-kata untuk mengangkat tabir pertemuan
memperlepas datang siang? Adakah –
                                                                Mari cintaku
Demi Allah, kita jejakkan kaki di bumi pedat,
Demi Allah, kita jejakkan kaki di bumi pedat,
Bercerita tentang raja-raja yang mati dibunuh rakyat;
Papar-jemur kalbu, terangkan jalan darah kita
Hitung dengan teliti kekalahan, hitung dengan teliti kemenangan.
Aku sudah saksikan
Senja kekecewaan dan putus asa yang bikin Tuhan juga turut
                                                                                                tersedu
Membekukan berpuluh nabi, hilang mimi dalam kuburnya.
sekali kugenggam Waktu, Keluasan di tangan lain
tapi kucampurbaurkan hingga hilang tuju.
Aku bisa nikmatkan perempuan luar batasnya, cium
matanya, kucup rambutnya, isap dadanya jadi gersang.
                                                                Kau cintaku
Melenggang diselubungi kabut dan caya, benda yang tidak
                                                                                         menyala.
Tukang tadah segala yang kurampas, kaki tangan Tuhan -
Berceritalah cintaku bukakan tubuhmu diatas sofa ini
Mengapa kau selalu berangkat dari kelam ke kelam
dari kecemasan sampai ke istirahat-dalam-kecemasan;
cerita surya berhawa pahit. Kita bercerai begini -
Tapi sudah tiba waktu pergi, dan aku akan pergi
Dan apa yang kita pikirkan, lupakan, kenangkan,
                                                           rahasiakan
Yang bukan-penyair tidak ambil bagian

Malam
Mulai kelam
belum buntumalam,
kami masih saja berjaga
- - Thermopylae? –
- jagal tidak dikenal? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang………………………………….

Krawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami berbicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam diding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kalaulah lagi yang tentukan nila tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan
                                                                                                           harapan
Atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Persetujuan dengan Bung Karno
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bijin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu,
                                                                            digarami oleh lautmu
Dari mulai tanggal, 17 agustus 1945
Aku melangkah kedepan berada disisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu d izatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

Sudah dulu lagi terjadi begini
Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil
Jangan tanya mengapa jari cari tempat disini
AKu tidak tahu tanggal serta alas an lagi
Dan jangan tanya siapa akan menyiapkan liang penghabisan
Yang akan terima pusaka: kedamaian antara runtuhan menara
Sudah dulu lagi, sudah dulu lagi
Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil.

Ina Mia
Terbaring di rangkuman pagi
- Hari baru jadi -
Ina Mia mencari
hati impi,
Terasa Ina Mia
kulit harapan belaka
Ina Mia
menarik napas panjang
di tepi jurang
napsu
yang sudah lepas terhembus,
antara daun-daunan mengelabu
kabut cinta lama, cinta hilang
terasa gentar sejenak
Ina Mia menekan tapak di hijau rumput,
Angin ikut
- dayang penghabisan yang mengipas -
Berpaling
kelihatan seorang serdadu mempercepat langkah di tekongan

Perjurit Jaga Malam
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua, bermata tajam,
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
ada disisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu…………..
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!

Buat Gadis Rasid
Antara
Daun-daun hijau padang lapang dan terang
Anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian
burung-burung merdu
hujan segar dan menyebur
bangsa muda menjadi, baru bisa bilang “aku”
Dan
angin tajam kering, tanah semata gersang
pasir bangkit mentanduskan, daerah dikosongi
kita terapit, cintaku
- mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Tebang
mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
- the only possible non-stop flight
Tidak mendapat.

Puncak
Pondering, pondering on you dear………………………
Minggu pagi disini. Kederasan ramai kota yang terbwa
tambah penjual dalam diri – diputar atau memutar -
terasa tertekan; kita terbaring bulat telanjang
sehabis apa terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang.
berada 2000 m, jauh dari muka laut, silang siur pelabuhan,
jadi terserah pada perbandingan dengan
cemara bersih hijau, kali yang bersih hijau
Maka cintaku saying, kucoba menjabat tanganmu
mendekap wajahmu yang asing, meraih bibirmu dibalik rupa.
Kau terlompat dari ranjang, lari ke tingkap yang
masih mengandung kabut, dan kau lihat disana, bahwa antara
cemara bersih hijau dan kali gunung bersih hijau
mengembang juga tanya dulu, tanya lama, tanya

Yang Terampas dan Yang Putus
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku
menggigir juga ruang dimana dia yang kuingin,
malam tambah merusak, rimba jadi semati tugu.
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) samoai juga deru angin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi hanya tangan yang bergerak lantang.
Tubuhku dan dan sendiri, cerita dan oertiwa berlaku beku
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Cemara menderai sampai jauh,
terasa hari akan jadi malam.,
ada beberaoa dahan di tingkap merapuh,
di pukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan,
sudah berapa waktu bukan kanak lagi,
tapi dulu memang ada suatu bahan,
yang bukan dasar perhitungan kini.

Hidup hanya menunda kekalahan,
tambah terasing dari cinta sekolah rendah,
dan athu, ada yang tetap tidak diucapkan,
sebelum pada akhirnya kita menyerah.

0 comments