Chairil Anwar- Antalogi Puisi Kerikil Tajam

Kumpulan Puisi ini merupakan salah satu karya puisi yang di ciptakan salah legenda pelopoor puisi angkatan '45 Chairil Anwar. Puisi ini merupakan puisi ke dua pada buku antalogi puisinya yang berjudul Kerikil tajam dan Yang terampas dan yang putus. Chairil Anwar di kenang dengan gaya bahasa puisinya yang tajam dan dijuluki "Si Binatang Jalang". Berikut Puisi Chairil Anwar berjudul Penghidupan



Nisan
Untuk nenek anda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta



Oktober 1942
Penghidupan
Lautan maha dalam
mukul dentur selama
nguji tenaga pematang kita

mukul dentur selama
hingga hancur remuk redam
Kurnia Bahgia
kecil setumpuk
sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk

Desember 1942


Dipo Negoro

Dimasa pembangunan ini
tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Didepan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api

Punah diatas menghamba
Binasa diatas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

MAJU.
SERBU.
SERANG.
TERJANG.

Pebruari 1945

Tak Sepadan

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros
aku merangkaki dinding buta
tak satu juga pintu terbka

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka

Pebruari 1943
Sia-sia

Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan Suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu.

Lali kita sama termanggu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? kita berdua tak mengerti

Sehari kita bersama. Tahk hampir-menhampiri

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi

Pebruari 1943
Pelarian

Tak tertahan lagi
remang miang sengketa disini.

Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.

Hancur-luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa.

II
Dari kelam ke malam
tertawa-meringis malam menerimanya
ini batu baru tercampung dalam gelita
"Mau apa? Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! mari!
Turut saja!".

Tak kuasa - terengkam
ia dicengkam malam
Pebruari 1943
Sendiri

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya

Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya

Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia terduduk. Siapa memangil itu?
Ah! lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!

Pebruari 1943

Suara Malam

Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan "Kebarakan di hutan"
Jadi kemana
Untuk damai dan reda?
Mati.
Barang kali ini diam kaku saja
dengan ketenangan selama bersatu
mengatasi suka dan duka
kekebalan terhadap debu dan nafsu.
Berbaring tak sedar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
jemu dipukul ombak besar.
Atau ini.
Peleburan dalam Tiada
dan sekali akan menghadap cahaya

...................................................................................
Ya Allah! Badanku terbakar - segala samar.
Aku sudah melewati batas.
Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

Pebruari 1943
Semangat

Kalau sampai waktuku
Kutahu tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu!

Aku ini binatang Jalang
Dari kumpulan terbuang

Biar pelur menembus kulitku
Aku tetap meradang-menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Belari

Hingga hilang pedih dan peri.

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Maret 1943
Hukum

Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu

Seorang jerih memikul. Banyak menangkis pukul.

Bungkuk jalannya - Lesu
Pucat mukanya - Lesu

Orang menyebut satu nama jaya
mengingat kerjanya dan jasa

Melecut supaya terus ini padanya

Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenanga

Pekik di angkasa: Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa

Nanti, Kau dinanti-dimengerti

Maret 1943
Lagu Biasa


Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Baru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam

Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan "Carmen" pula.

Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari

Ketika orkes memulai "Ave Maria"
Kuseret ia kesana ................

Maret 1943
Kupu Malam Dan Biniku

Sambil berselisih lalu
mengebu debu.

Kupercepat langkah. Tak noleh kebelakang
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang

Barah ternganga

Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih tujuh tahun bersatu

Barangkali tak setahuku
Ia menipuku

Maret 1943
Penerimaan

Jika kamu mau, kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Jika kau mau, kuterima kau kembali
Tapi untukku sendiri
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi
Maret 1943
Kesabaran
Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh – mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Disebelahnya api dan abu
Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenagaku terbang
Sudah! Tidak jadi apa-apa:
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli
Keras-membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi.
Kuulangi yang dulu kembali
Kuulangi yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpincing mata
Menunggu reda yang musti tiba
Maret1943
Ajakan
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di ruang legah lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalan
Ria bahgia
Tak acuh apa-apa
Gembira girang
Biar hujan datang
Kita mandi basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi.
20 April 1943
Kenangan
Untuk Karinah Moordjono
Kadang
Diantara jeriji itu itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda using dilupa
Ah! Tercebar rasanya diri
membuang tinggi atas kini
Sejenak
Saja halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terbentak
Kembali diitu-itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelbung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia
19 April 1943
Hampa
Kepada Sri yang selalu sangsii
Sepi diluar, sepi menekan-mendesak
Lurs-kaku pohonan Tak bergerak
Sampai ke puncak
Sepi memagut
Tak suatu kuasa-berani melepas duru
Segala menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
Dan ini menanti penghabisan mencekik
Memberat-mencekung punda
Udara bertuba
Rontak-gugur segala. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.
Maret 1943
Perhitungan
Banyak gores belum terputus saja
Satu rumah kecil dengan lampu merah
                                                            muda caya
Langit bersih-merah dan purnama raya…………
Sudah itu tempatku tak tentu dimana.
Sekilap pandangan serupa dua klewaang bergeseran
Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran
Hembus kau aku tak perdli, ke Bandung ke Sukabumi……!?
Kini aku meringkih dalam malam sunyi.
16 Maret 1943
Rumahku
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala Nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah kemana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Disini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran meraih petang
Biar berteleran kata manis madu
Jika menagih yang satu
27 April 1943
Kawanku dan aku
Kepada L.K. bohang
Kami jalan sama. Sudah larut
Menembus kabut
hujan mengucur badan.
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental-pekat. Aku tumpat-padat
Siapa berkata?
Kawanku hanya rangka saja
Karena dera menggelucak tenaga.
Dia bertanya jam berapa!
Sudah larut sekali
Hingga hilang segala makna
Dan gerak tak punya arti
5 Juni 1943
Di Mesjid
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya
Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Bianasa-Membiinasa
Satu menista lain gila
29 Mei 1943
Aku
Melangkahkan aku bukan tuak menggelegak
Cumbu-buatan satu biduan
Kujauhi ahli agama serta lembing-katanya
Aku hidup
Dalam hidup di mata tampak bergerak
dengan cacar melebar, barah bernanah
dan kadang satu senyum kukucup-minum dalam dahaga
8 Juni 1943
Cerita
Kepada Darmawidjaja
Di pasar baru mereka
Lalu mengada-menggaya.
Mengikut sudah kesal
Tak tahu apa dibuat
Jiwa satu teman lucu
Dalam hidup, dalan tuju
Gundul diselimuti tebal
Sama segala berbuat-buat.
Tapi kadang pula dapat
Ini renggang terus terapat
9 Juni 1943
Bercerai
Kita musti bercerai
Sebelum kicau murai berderai.
Terlalu kita minta pada mala mini.
Benar belum puas serah menyerah
Darah masih berbusah-busah.
Terlalu kita minta pada mala mini.
Kita musti bercerai
Biru surya’kan menembus oleh malam di perisai
Dua benua bakal bentur-membentur
Merah keesumba jadi putih kapur.
Bagaimana?
Kalau IDA, mau turut mengabur
Tidak samudra caya tempatku mengambur.
7 Juni 1943
Selamat Tinggal
Aku bekerja
Bukan buat ke pesta
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru-menderu
- dalam hatiku? -
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah………………………….!!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal……………………..
Selamat tinggal……………………….!!
12 Juli 1943
Dendam
Berdiri tersentak
Dari mimpi aku bengis dielak
Aku tegak
bulan bersinar sedikit tak Nampak
Tangan meraba kebawah bantalku
Keris berkarat kugenggam di hulu
Bulan bersiina sedikit tak Nampak
Aku mencari
Mendadak mati kuhendak bervekas di jari
Aku mencari
Diri tercerai dari hati
Bulan bersina sedikit tak tampak
13 Juli 1943
Merdeka
Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Dari dari ida
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsun dan darah
Seharian kukunyah – kumamah
Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang
Tapi kini
Hidupku terlalu teang
Selama tidak antara badai
Kala menang
Ah! Jiwa yang menggapai- gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.
14 juli 1943
Kita guyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
kita pendam dalam keseharian
Mari tegak merentak
Diri – sekeliling kita bentak
ini malam purnama akan menembus awan,
22 Juli 1943
Jangan kita disini berhenti
Tuaknya tua, sedikit pula
Sedang kita mau berkendi-kendi
Terus, terus dulu………………………………!!
Ke ruang dimana botol tuak banyak berbaris
Pelayannya kita di layani gadis-gadis
O, bibir merah, selokan mari pertama
O, hidup, kau masih ketawa??
24 juli 1943
Mulutmu mencubit di mulutku
Menggelegak benci sejenak itu
Mengapa merihmu tak kucekik pula
Ketika halus-perih kau meluka??
 12 Juli 1943
Kepada Peminta-minta
Baik, baik, aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari luka
Sambil berjalan kau usap juga.
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasan kau datang
Sembarang kau merebah.
Menggangu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingak.
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan Tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.

            Demikian kumpulan puisi dari Chairil Anwar pada buku Kerikil Tajam.  Atas perhatiannya kami ucapkan Terima Kasih





0 comments