Toto Sudarto Bachtiar ketika
dia menjadi mahasiswa di Jakarta, dia pun menjadi redaktur majalah Angkasa
(milik AURI). Sejak saat itu dia menulis puisi, menerjemahkan cerita pendek,
esei, artikel kebudayaan, sastra, politik, dan lain-lain. Pernah menjadi
redaktur Menara di Jakarta, dan turun mendirikan majalah Sunda di Bandung, 1964. Pernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan
Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. Berikut saya tampilkan salah satu puisi Toto
Sudarto Bachtiar dalam buku Tonggak 2:
Rumah
Kulihat dari cahya bulan di pekarengan
Serambiku kelam dan berudara sepi
Tidak ada suara, tiada pula bayangan
Kecuali sahabatku, semuanya pergi
Serambiku kelam dan berudara sepi
Tidak ada suara, tiada pula bayangan
Kecuali sahabatku, semuanya pergi
Terkadang terasa perlunya ke rumah
Atau terasa perlunya tak pulang ke rumah
Berceritera dan berkaca pada hari-hari kupunya
Di rumahku besar sekali nubuah sebuah kisah
Atau terasa perlunya tak pulang ke rumah
Berceritera dan berkaca pada hari-hari kupunya
Di rumahku besar sekali nubuah sebuah kisah
Kalau aku tiba terdengar suara berdetak tiba-tiba
Malu-malu hati sahabatku rupanya ikut bicara
Tanpa tekanan yang mendesak atau tinggi hati
Alangkah cintanya dia padaku
Malu-malu hati sahabatku rupanya ikut bicara
Tanpa tekanan yang mendesak atau tinggi hati
Alangkah cintanya dia padaku
Terkadang sebelum masuk rumah
Aku melihat ke atap dan bertanya-tanya
Adakah dia di dalam, masihkah dia cinta
Alangkah besar rasanya hidup, bila hatiku tak
gelisah
Aku melihat ke atap dan bertanya-tanya
Adakah dia di dalam, masihkah dia cinta
Alangkah besar rasanya hidup, bila hatiku tak
gelisah
Etsa,
Pustaka Jaya, Jakarta
0 comments