Toto
Sudarto Bachtiar ketika dia menjadi mahasiswa di Jakarta, dia pun menjadi
redaktur majalah Angkasa (milik AURI). Sejak saat itu dia menulis puisi,
menerjemahkan cerita pendek, esei, artikel kebudayaan, sastra, politik, dan
lain-lain. Pernah menjadi redaktur Menara di Jakarta, dan turun mendirikan
majalah Sunda di Bandung, 1964.
Pernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Kebudayaan Propinsi Jawa Barat. Berikut
saya tampilkan salah satu puisi Toto Sudarto Bachtiar dalam buku Tonggak 2:
PAHLAWAN
TAK DIKENAL
Karya: Toto
Sudarto Bachtiar
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudan dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudan dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap spei adang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara
menderu
Dia masih sangat muda
Menangkap spei adang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara
menderu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-prang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak
dikenalnya
Orang-prang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak
dikenalnya
Spuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bunda di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bunda di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda
1955
0 comments